tahun ke tahun, bulan ke bulan, minggu ke minggu, hari ke hari, jam ke jam, menit ke menit,, dan detik ke detik... perasaan yang dulu pernah ada dan hadir,, terus merindukan sosok dirimu yang terus mengikutiku kemana pun arah jalan ku.. ketika malam dan sepi menghampiriku,, aku selalu bertanya pada hati kecil ini.. mau dibawa kemanakah perasaan yang tulus ini? apakah aku bisa mendampingimu dengan sisa umur ku ini.. namun,, hati ini terus menjawab menjawab dan menjawab agar aku tetap sabar dan terus berdoa agar Allah menuntun ku pada 1 titik cahaya tersebut.. yaaaaa,,, jawaban itu semata-mata hanya untuk menenangkan dan menegarkan hatiku agar aku harus bersabar dan tak begitu kecewa dengan apa yang telah ditakdirkan padaku...
Tapi, terkadang aku lelah untuk menyimpan rasa yang telah lama bersandang dilubuk hatiku.. namun, apalah daya ku hanya mampu untuk menunggu, menunggu dan menunggu takdir dan arahan dari Allah :")...
andai saja aku mampu melontarkan rasa sayang yang pernah ada dan terbentuk lamanya ini.. aku tidak mengetahui apa jadinya diri ku hari ini... Allah,, inikah yang dinamakan cinta semata-semata karena mu dan ingin mengakhirinya sebagai ibadah karena mu juga.. Allah,, berikanlah setitik petunjukmu untukku. agar aku mengetahui apa yang harus aku lakukan dengan perasaan ku ini...
MIDWIFERY
Senin, 10 Februari 2014
Rabu, 25 Desember 2013
Sabtu, 14 Desember 2013
HOMELESS
A. Pengertian Homeless
Homeless atau gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan
tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta
tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan
hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang
mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara
dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. (Anon., 1980).
Humaidi, (2003) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari kata gelandang yang
berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana).
Menurut Muthalib
dan Sudjarwo (dalam IqBali, 2005) diberikan tiga gambaran umum gelandangan,
yaitu (1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyaratnya, (2) orang
yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola
hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan. Ali, dkk., (1990)
juga menggambarkan mata pencaharian gelandangan di Kartasura seperti pemulung,
peminta-minta, tukang semir sepatu, tukang becak, penjaja makanan, dan
pengamen.
Tunawisma menggambarkan kondisi masyarakat yang biasa
hidup tanpa tempat tinggal Orang-orang yang
tunawisma tidak mampu atau tidak mau mendapatkan dan mempertahankan tempat
tinggal yang aman, dan perumahan
yang memadai, atau kurang "tetap, teratur,
dan cukup untuk tinggal di waktu malam."
Definisi hukum "tunawisma"
bervariasi dari satu negara ke negara , atau di antara entitas yang berbeda
atau lembaga di negara yang sama atau wilayah.
Tunawisma panjang juga mungkin termasuk
orang-orang yang malam waktu tinggal berada dalam tempat
penampungan tunawisma , sebuah pusat pemanasan , suatu penampungan untuk
korban kekerasan dalam rumah tangga. Menurut studi pencacahan Pemerintah tunawisma juga
termasuk orang-orang yang tidur di tempat umum atau pribadi tidak dirancang
untuk digunakan sebagai akomodasi tidur biasa bagi manusia.
Badan PBB atau melalui pemungutan
suara di Majelis Umum telah disepakati bahwa tunawisma dilihat dari
kondisi meliputi:
- Orang diasumsikan tidak memiliki harta lainnya yang layak huni.
- Sumber pendapatan mereka untuk membayar sewa tidak stabil atau jumlah uang yang tersedia untuk makanan tidak stabil.

B.
Ciri-Ciri Homeless
•Para tunawisma tidak mempunyai
pekerjaan
• Kondisi fisik para tunawisma yang dapat dibilang tidak sehat karena kondisi lingkungan yang memprihatinkan.
• Para Tunawisma biasanya mencari-cari barang atau makanan disembarang tempat demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
• Para Tunawisma hidup bebas tidak bergantung kepada orang lain ataupun keluarganya.
Tunawisma sendiri di bagi menjadi tiga, yaitu:
• Tunawisma biasa, yaitu mereka mempunyai pekerjaan namun tidak mempunyai tempat tinggal tetap.
• Tunakarya, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap.
• Tunakarya cacat, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai tempat tinggal, juga mempunyai kekurangan jasmani dan rohani.
• Kondisi fisik para tunawisma yang dapat dibilang tidak sehat karena kondisi lingkungan yang memprihatinkan.
• Para Tunawisma biasanya mencari-cari barang atau makanan disembarang tempat demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
• Para Tunawisma hidup bebas tidak bergantung kepada orang lain ataupun keluarganya.
Tunawisma sendiri di bagi menjadi tiga, yaitu:
• Tunawisma biasa, yaitu mereka mempunyai pekerjaan namun tidak mempunyai tempat tinggal tetap.
• Tunakarya, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai tempat tinggal tetap.
• Tunakarya cacat, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai tempat tinggal, juga mempunyai kekurangan jasmani dan rohani.
C.
Penyebab Homeless
Sementara
itu Alkostar (1984) dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan melihat
bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor
penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi
sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat
fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial,
kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis
Alasan utama dan penyebab untuk
tunawisma yang didokumentasikan oleh banyak laporan dan studi meliputi:
- Tidak tersedianya lapangan kerja.
- Kemiskinan , disebabkan oleh banyak faktor termasuk pengangguran dan setengah pengangguran .
- Orang yang memiliki beberapa jenis penyakit kronis dan melemahkan tetapi tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan baik karena mereka tidak punya uang untuk membelinya atau karena pemerintah tidak akan memberikannya kepada mereka terlalu lemah untuk pergi dan bekerja setiap hari sehingga mereka tetap miskin dan tunawisma.
- Penyalahgunaan oleh pemerintah maupun oleh orang lain karena kekuasaan.
- Perang atau konflik bersenjata.
- Gangguan mental , dimana layanan kesehatan mental tidak tersedia. Sebuah survei Federal Amerika Serikat dilakukan tahun 2005 menunjukkan bahwa setidaknya sepertiga dari laki-laki tunawisma dan wanita memiliki kelainan mental yang serius atau masalah.
- Cacat , terutama dimana pelayanan penyandang cacat non-ada atau miskin bermasalah.
- pengecualian sosial , termasuk karena orientasi seksual dan identitas gender
- Kekerasan domestik .
- Hubungan kerusakan, terutama dalam kaitannya dengan orang-orang muda dan orang tua mereka.
- Penjara rilis dan masuk kembali ke dalam masyarakat.
- Bencana , termasuk namun tidak terbatas pada gempa bumi dan badai .
- Penggusuran paksa, banyak negara orang kehilangan mereka dengan rumah pemerintah untuk memesan membuat jalan bagi yang lebih baru kelas bangunan, bertingkat jalan raya, dan lainnya. kebutuhan pemerintah Dalam kompensasi tersebut mungkin minimal, dalam hal ini penghuni pertama tidak dapat menemukan yang sesuai baru perumahan dan menjadi tunawisma.
- Penyitaan karena penggadaian dimana pemegang penggadai melihat solusi terbaik untuk default pinjaman ini adalah untuk mengambil dan menjual rumah untuk melunasi hutang.
- Penyitaan pada tuan tanah sering menyebabkan penggusuran dari penyewa mereka.
- Kriminalitas - Beberapa tunawisma dikarenakan ada kejahatan yang dilakukan dan karena itu bersembunyi dari pihak berwenang.
o Ada berbagai alasan yang
menjdikan seseorang atau lansia memilih untuk
menjalani hidupnya sebagai seorang Tunawisma. Mulai dari permasalahan
psikologis, kerenggangan hubungan dengan orang tua, atau keinginan untuk hidup
bebas. Namun alasan yang terbanyak dan paling umum adalah kegagalan para perantau
dalam mencari pekerjaan.
o Cerita-cerita di kampung halaman tentang
kesuksesan perantau kerap menjadi buaian bagi putra daerah untuk turut
meramaikan persaingan di kota besar. Beberapa di antaranya memang berhasil,
namun kebanyakan dari para perantau kurang menyadari bahwa keterampilan yang
mumpuni adalah modal utama dalam perantauan. Sehingga mereka yang gagal dalam
merengkuh impiannya, melanjutkan hidupnya sebagai tunawisma karena malu bila
pulang ke kampung halaman.
o Masalah kependudukan di Indonesia pada umumnya
telah lama membawa masalah lanjutan, yaitu penyediaan lapangan pekerjaan. Dan
bila kita meninjau keadaan dewasa ini, pemerataan lapangan pekerjaan di
Indonesia masih kurang. Sehingga kota besar pada umumnya mempunyai lapangan
pekerjaan yang lebih banyak dan lebih besar daripada kota-kota
kecil.
o Hal inilah yang menjadi penyebab keengganan
tunawisma untuk kembali ke daerahnya selain karena perasaan malu karena
berpikir bahwa daerahnya memiliki lapangan pekerjaan yang lebih sempit daripada
tempat dimana mereka tinggal sekarang. Mereka memutuskan untuk tetap
meminta-minta, mengamen, memulung, dan berjualan seadanya hingga pekerjaan yang
lebih baik menjemput mereka. Selain
itu,
masalah
yang sampai saat ini belum teratasi yaitu kemiskinan yang sangat
mempengaruhi munculnya tunawisma pada lansia. Permasalahan yang sangat
dirasakan oleh kaum miskin yaitu permasalahan sosial ekonomi mereka, yakni
karena mereka tidak mempunyai ekonomi yang cukup mereka tidak bisa membeli
rumah sehingga mereka memutuskan untuk menjadi tunawisma
(gelandangan).
D.
Alasan Wanita Menjadi
Homeless
Ada berbagai alasan yang menjadikan seseorang wanita memilih untuk menjalani hidupnya sebagai seorang Tunawisma. Mulai dari permasalahan psikologis, kerenggangan hubungan dengan keluarga, atau keinginan untuk hidup bebas. Namun alasan yang terbanyak dan paling umum adalah kegagalan para perantau dalam mencari pekerjaan. Cerita-cerita di kampung halaman tentang kesuksesan perantau kerap menjadi buaian bagi putra daerah untuk turut meramaikan persaingan di kota besar. Beberapa di antaranya memang berhasil, namun kebanyakan dari para perantau kurang menyadari bahwa keterampilan yang mumpuni adalah modal utama dalam perantauan. Sehingga mereka yang gagal dalam merengkuh impiannya, melanjutkan hidupnya sebagai tunawisma karena alas an tang sangat klasik yakni malu bila pulang ke kampung halaman.
Masalah kependudukan di Indonesia pada umumnya telah lama membawa masalah lanjutan, yaitu penyediaan lapangan pekerjaan. Dan bila kita meninjau keadaan dewasa ini, pemerataan lapangan pekerjaan di Indonesia masih kurang. Sehingga kota besar pada umumnya mempunyai lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan lebih besar daripada kota-kotakecil.
Hal inilah yang
menjadi penyebab keengganan tunawisma untuk kembali ke daerahnya selain karena
perasaan malu karena berpikir bahwa daerahnya memiliki lapangan pekerjaan yang
lebih sempit daripada tempat dimana mereka tinggal sekarang.
Adapun factor yang melatarbelakangi
seorang wanita hidup sebagai gelandangan di kota besar dari pada mereka hidup
di daerah asal :
a.
Natural assets:
seperti
tanah dan air, sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang kurang
memadai untuk mata pencahariannya sehingga mereka berbondong-bondong
berurbanisasi ke kota besar guna mencoba peruntungan, yang akhirnya mereka
terjebak dalam situasi yang tak kunjung usai.
b. Human assets
kualitas
sumber daya manusia yang masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan
(tingkat pendidikan, pengetahuan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan
penguasaan teknologi), dimana seorang wanita di desa di diskriminasikan dengan
seorang laki-laki/ seorang wanita tidak boleh sekolah tinggi karena akhirnya
mereka akan turun ke dapur.
c.
Physical assets
minimnya
akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan komunikasi yang
membuat para wanita tersebut semakin tertinggal dan bahkan tidak tahu apapun
mengenai dunia luar dari daerah asal mereka. Sehingga mereka selalu berpikiran
positif akan ada perubahan hidup yang lebih baik jika mereka pergi ke kota,
padahal malah sebaliknya.
d. Financial assets
Minimnya
dana yang dimiliki sebagai modal usaha di kota menjadikan mereka hanya
mengandalkan apa yang dimilikinya. Bila yang dimiliki seorang wanita hanya
tenaga, mereka akan menggunakan tenaga mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka
yang tentu saja tidaklah cukup. Sehingga tak jarang seorang wanita gelandangan
menjajakan diri atau berprofesi sebagai PSK. Untuk yang level paling rendahnya,
mereka memilih untuk menjadi seorang pengemis atau pengamen.
e. Social assets
berupa
jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining
position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Tentu saja seorang
wanita desa tidaklah tahu menahu akan hal ini. Mereka hanya tahu mengenai
bagaimana cara agar hari ini mereka bisa makan, entah besok.
E. Masalah yang
dihadapi oleh Homeless
Masalah dasar dari tunawisma adalah
kebutuhan manusia untuk pribadi, kehangatan tempat berlindung dan keselamatan.
kesulitan dasar lainnya termasuk:
- keamanan pribadi, ketenang, dan privasi, terutama untuk tidur
- penitipan tempat tidur, pakaian dan harta benda, yang mungkin harus dilakukan setiap saat
- kebersihan dan fasilitas sanitasi
- pembersihan dan pengeringan pakaian
- mendapatkan, menyiapkan dan menyimpan makanan dalam jumlah banyak
- permusuhan dan kekuatan hukum terhadap pergelandangan perkotaan.
Orang tunawisma menghadapi banyak masalah
di luar kurangnya rumah yang aman dan cocok. Mereka sering dihadapkan dengan
kerugian sosial yang juga, mengurangi akses dan pelayanan publik swasta dan
akses dikurangi menjadi kebutuhan penting:
- Berkurangnya akses ke perawatan kesehatan dan layanan kesehatan gigi.
- Terbatasnya akses terhadap pendidikan.
- Peningkatan risiko menderita dari kekerasan dan pelecehan.
- Umum penolakan atau diskriminasi dari orang lain.
- Kehilangan hubungan biasa dengan mainstream
- Tidak dilihat sebagai cocok untuk kerja.
- Mengurangi akses ke layanan perbankan
- Mengurangi akses ke teknologi komunikasi
F. Sumber
Penghasilan
Banyak organisasi nirlaba seperti Goodwill Industries menjaga misi untuk "memberikan
kesempatan pengembangan dan bekerja keterampilan untuk orang dengan hambatan
untuk kerja", meskipun sebagian besar organisasi-organisasi ini tidak terutama
diarahkan terhadap individu tunawisma. Banyak kota juga memiliki surat kabar jalan atau majalah: publikasi dirancang
untuk memberikan kesempatan kerja kepada orang tunawisma atau orang lain yang
membutuhkan melalui penjualan jalanan.
Sementara beberapa tunawisma memiliki pekerjaan yang
lumayan, beberapa harus mencari metode lain untuk menghasilkan uang. Mengemis atau panhandling adalah salah satu
pilihan, tetapi menjadi semakin ilegal di banyak kota.
trik
pertunjukan, bermain musik, menggambar di trotoar, atau menawarkan bentuk lain
dari hiburan dalam pertukaran untuk sumbangan.
Tunawisma yang
melakukan kejahatan diketahui hanya untuk dikirim ke penjara atau penjara untuk makanan dan tempat tinggal.
Dalam slang polisi, ini disebut "tiga naksir dan dipan" merujuk pada
tiga kali makan sehari-hari panas dan dipan untuk tidur diberikan kepada
tahanan.
G. Perlindungan
untuk tunawisma
Ada
banyak tempat di mana orang tunawisma mungkin mencari perlindungan:
- Outdoor: Pada tanah atau dalam kantong tidur , tenda , atau improvisasi penampungan, seperti kotak kardus besar, tempat sampah , di taman atau tanah kosong.
- Tenda Kota : Perkemahan tenda dan improvisasi tempat penampungan yang terdiri dari terpal dan selimut sering dekat industri dan kelembagaan dikategorikan real estat. Sebuah kota beberapa tenda yang lebih rumit, seperti Desa Martabat, sebenarnya hibrida kota tenda dan kumuh. Tenda kota sering terdiri dari tenda dan kain improvisasi hanya struktur, tanpa struktur kayu semi-permanen di semua.
- Kumuh : situs tinggal improvisasi tempat penampungan dan gubuk-gubuk , biasanya dekat meter rel , interstates dan vena transportasi yang tinggi. Beberapa kota-kota kumuh memiliki area tenting interstisial, tetapi fitur utama terdiri dari struktur keras. Setiap pad situs cenderung terakumulasi atap, selubung, kayu lapis, dan dipaku dua dengan merangkak.
- Terlantar
- Jongkok di sebuah rumah kosong di mana orang tunawisma bisa hidup tanpa pembayaran dan tanpa pemilik pengetahuan atau izin.
- Kendaraan: mobil atau truk yang digunakan sebagai jangka panjang kadang-kadang hidup mengungsi atau sementara, misalnya dengan orang-orang baru-baru ini diusir dari rumah. Beberapa orang tinggal di van , sport utility vehicle , tertutup truk pick-up , station wagon , sedan , atau hatchback. Banyak kota kini memiliki program parkir aman di situs yang sah diizinkan di gereja atau di luar tempat cara.
- Tempat umum: Taman , bis atau stasiun kereta api , perpustakaan umum , bandara , transportasi umum kendaraan (dengan terus-menerus naik di mana lintasan tak terbatas tersedia) lobi rumah sakit, atau ruang tunggu, , dan jam 24 bisnis seperti warung kopi Banyak tempat-tempat umum menggunakan petugas keamanan atau polisi untuk mencegah orang dari berkeliaran atau tidur di lokasi tersebut karena berbagai alasan, termasuk gambar, keamanan, dan kenyamanan.
- rumah kos : Juga disebut flophouses , mereka menawarkan murah, kualitas sementara penginapan-rendah.
- Perumahan, di mana tempat tidur sebagai lawan dari seluruh ruangan bisa disewa murah di-seperti lingkungan asrama.
- terowongan bawah tanah seperti subway ditinggalkan, pemeliharaan, atau terowongan kereta api yang populer di kalangan tunawisma permanen.
H.
Definisi Kesehatan Reproduksi Wanita.
Berdasarkan
Konferensi Wanita sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 dan Konverensi
Kependudukan dan Pembangunan di Cairo tahun 1994 sudah disepakati perihal
hak-hak reproduksi tersebut. Dalam hal ini (Cholil,1996) menyimpulkan bahwa
terkandung empat hal pokok dalam reproduksi wanita yaitu :
1. Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive
and sexual health)
2. Penentuan dalam keputusan
reproduksi (reproductive decision making)
3. Kesetaraan
pria dan wanita (equality and equity for men and women)
4. Keamanan reproduksi dan seksual
(sexual and reproductive security)
Adapun definisi
tentang arti kesehatan reproduksi yang telah diterima secara internasional
yaitu : sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh dalam
segala hal yang berkaitan dengan sistim, fungsi-fungsi dan proses reproduksi.
Selain itu juga disinggung hak produksi yang didasarkan pada pengakuan hak
asasi manusia bagi setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas
dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan
kelahiran anak mereka.
Konsep
Pemikiran Tentang Kesehatan Reproduksi Wanita Pembangunan
kesehatan bertujuan untuk mempertinggi derajat kesehatan masyarakat. demi
tercapainya derajat kesehatan yang tinggi, maka wanita sebagai penerima
kesehatan, anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan harus berperan
dalam keluarga, supaya anak tumbuh sehat sampai dewasa sebagai generasi muda.
Oleh sebab itu wanita, seyogyanya diberi perhatian sebab :
1. Wanita menghadapi masalah kesehatan khusus yang
tidak dihadapi pria berkaitan dengan fungsi reproduksinya
2.
Kesehatan wanita secara langsung mempengaruhi kesehatan anak yang dikandung dan
dilahirkan.
3.
Kesehatan wanita sering dilupakan dan ia hanya sebagai objek dengan mengatas
namakan “pembangunan” seperti program KB, dan pengendalian jumlah penduduk.
4.
Masalah kesehatan reproduksi wanita sudah menjadi agenda Intemasional
diantaranya Indonesia menyepakati hasil-hasil Konferensi mengenai kesehatan
reproduksi dan kependudukan (Beijing dan Kairo)
5.
Berdasarkan pemikiran di atas kesehatan wanita merupakan aspek paling penting
disebabkan pengaruhnya pada kesehatan anak-anak. Oleh sebab itu pada wanita
diberi kebebasan dalam menentukan hal yang paling baik menurut dirinya sesuai
dengan kebutuhannya di mana ia sendiri yang memutuskan atas tubuhnya sendiri.
Namun,
berbagai masalah timbul seiring dengan berkembang pesatnya tunawisma –tunawisma
wanita di kota besar. Mereka sudah tak menghiraukan lagi suara-suara yang
menyerukan hak-hak mereka tentang baiknya kesehatan reproduksi wanita.
Kesehatan reproduksi mereka berantakan, mereka tak mengacuhkan lagi
slogan-slogan agar seorang wanita menjaga organ reproduksinya, karena tunas
tunas bangsa yang sehat, lahir dari ibu yang sehat pula. Namun anggapan mereka
berrbeda, semakin banyak anak yang lahir dari rahimnya, nantinya akan membantu
si ibu untuk bekerja sebagai pengamen ataupun pengemis dijalanan. Ini
dikarenakan, mereka telah terjebak dalam kejamnya kehidupan jalanan yang mereka
jalani selama ini.
Karena
pemikiran diri mereka inilah, menyebabkan jaminan kesehatan merekapun rendah,
dan tidak adanya jaminan sosial untuk bertahan hidup dan untuk menjaga
kelangsungan hidup mereka nantinya. Dalam hal kebersihan dan kesehatan, rumah
mereka seadanya, jauh dari kriteria rumah sehat, kotor, ventilasi kurang,
penerangan kurang, keperluan unit mandi, cuci, dan masak tidak memenuhi
criteria, sehingga keadaan kesehatan para tunawisma ini khususnya wanita
semakin terpuruk.
Indikator-indikator
permasalahan kesehatan reproduksi wanita di jalanan atau para tunawisma antara lain adalah :
·
Gender, adalah
peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut budaya
yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi tingkat
kesehatan, dan karena peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti
tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
·
Kemiskinan,
antara lain mengakibatkan:
• Makanan yang tidak
cukup atau makanan yang kurang gizi
• Persediaan air yang
kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak layak.
• Tidak mendapatkan
pelayanan yang baik.
·
Pendidikan yang
rendah.
Kemiskinan mempengaruhi
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tidak sama
untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan
biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap
sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Dalam hal ini bukan indikator
kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap
pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang
berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap
masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai
pendidikan yang memadai seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri,
dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
·
Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia
kawin muda pada wanita masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun).
Hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum menikah di usia tertentu
dianggap tidak laku. Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat
mengawinkan anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita
tersebut kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi
pada saat persalinan. Di samping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih
besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka putus
sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan
pengambilan keputusan.
Sedangkan . masalah yang timbul dengan
semakin banyaknya wanita tunawisma antara lain
a.
Pelecehan seksual
b.
Tindak kekerasan
c.
Pemerkosaan
d.
Paksaan untuk masuk dunia pelacuran
e.
Wanita yang diperjual belikan
f.
Perbudakan
g.
Komplikasi berbagai penyakit
I. Pola Perilaku Seksual Perempuan Tunawisma
Pola
perilaku anak perempuan atau wanita yang terjadi di kehidupan jalanan yang
dimulai dari usia sekolah hingga dewasa hampir sama,seakan-akan yang mereka
lakukan adalah hal amat biasa tentunya diikalangan mereka. Berikut contohnya :
1.
Seks bebas
Dari perilaku seksual
usia dini Anak jalanan perempuan, yang mulai seks bebas yaitu anak-anak jalanan
dengan usia dibawah 14 tahun dan ada yang melakukan dengan saudaranya sendiri.
Hal ini menyebabkan anak jalanan rentan terhadap penyakit kelamin misalnya HIV
atau AIDS.
2.
Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela
melakukan hal apapun ( merampas, mencuri, membeli, hubungan seks) yang penting
bisa mendapatkan uang untuk membeli minuman keras, pil dan zat aditif lainnya.
Mereka menggunakan itu karena ingin menumbuhkan keberanian saat melakukan
kegiatan di jalanan.
3.
Tindak Kriminal
Kegiatan-kegiatan yang bisa
dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang diketahui pernah dilakukan anak
jalanan perempuan yaitu memeras, mencuri, mencopet dan pengedaran pil. Tindak
kriminal terhadap anak jalanan ini juga dilakukan oleh petugas keamanan seperti
Polisi, Satpol PP, TNI, Kantor Informasi dan Komunikasi Pemerintah, DLLAJ.
Bagian sosial Pemerintah pada saat melakukan operasi razia ketertiban terhadap
anak jalanan, gelandangan, anak yang dilacurkan dan pekerja seks komersial
dengan perlakuan tidak manusiawi dan sadis.
4.
Eksploitasi
Seksual
Keberadaan anak jalanan perempuan
yang tinggal dijalanan sangat rentan terhadap eksploitasi khususnya eksploitasi
seksual seperti pelecehan, penganiyaan secara seksual, pemerkosaan,
penjerumusan anak dalam prostitusi dan adanya indikasi perdagangan anak keluar
daerah khususnya Riau dan Batam.
5.
Drop out dari
sekolah
Anak-anak jalanan yang dulu pernah
sekolah ini banyak mengalami kekerasan di sekolah seperti perlakuan salah baik
yang dilakukan oleh teman maupun guru mereka.
Tentu saja hal yang tertera diatas adalah kenyataan pahit yang dialami seorang perempuan di dunia jalanan yang terbilang amat kejam. Karena tindakan diatas, tak hanya kesehatan reproduksi mereka yang mengalami gangguan, melainkan kesehatan mental mereka. Apalagi bila seorang mengalami pelecehan seksual. Trauma yang dibawa akibat kejadian pelecehan seksual itu akan terbawa sampai dewasa nantinya, yang tentunya akan sangat mengganggu perkembangan dari gadis tersebut.
Tentu saja hal yang tertera diatas adalah kenyataan pahit yang dialami seorang perempuan di dunia jalanan yang terbilang amat kejam. Karena tindakan diatas, tak hanya kesehatan reproduksi mereka yang mengalami gangguan, melainkan kesehatan mental mereka. Apalagi bila seorang mengalami pelecehan seksual. Trauma yang dibawa akibat kejadian pelecehan seksual itu akan terbawa sampai dewasa nantinya, yang tentunya akan sangat mengganggu perkembangan dari gadis tersebut.
J. Perawatan
kesehatan untuk tunawisma
Perawatan kesehatan untuk tunawisma
adalah tantangan kesehatan publik utama.
Tunawisma orang lebih cenderung untuk menderita cedera dan
masalah medis dari gaya hidup mereka di jalan, yang meliputi gizi buruk,
penyalahgunaan zat, pemaparan pada elemen parah cuaca, dan paparan yang lebih
tinggi untuk kekerasan (perampokan, pemukulan, dan sebagainya). Namun pada saat
yang sama, mereka memiliki sedikit akses ke pelayanan kesehatan publik atau
klinik.
Ini adalah masalah tertentu di Amerika Serikat di mana
banyak orang kekurangan asuransi kesehatan: "Setiap tahun, jutaan orang di
Amerika Serikat tunawisma pengalaman dan sangat membutuhkan layanan kesehatan
Kebanyakan tidak memiliki asuransi kesehatan apa pun, dan. tidak memiliki uang
tunai untuk membayar untuk perawatan medis. "
Ada tantangan besar dalam mengobati orang tunawisma yang memiliki
gangguan kejiwaan, karena janji klinis tidak dapat disimpan, keberadaan mereka
terus tidak diketahui, obat-obatan mereka tidak diambil dan dimonitor, medis dan sejarah
psikiatris tidak akurat, dan untuk alasan lainnya. Karena itu banyak orang dengan
gangguan kejiwaan
kehilangan tempat tinggal, ini telah disajikan krisis dalam perawatan.
Tunawisma sering merasa sulit untuk mendokumentasikan
tanggal lahir atau alamat mereka. Karena orang-orang tunawisma biasanya tidak
memiliki tempat untuk menyimpan harta, mereka sering kehilangan barang-barang
mereka, termasuk identifikasi dan dokumen lain, atau menemukan mereka
dihancurkan oleh polisi atau orang lain. Tanpa ID foto, orang tunawisma tidak
bisa mendapatkan pekerjaan atau akses pelayanan sosial banyak. Mereka dapat
diberi akses ke bahkan bantuan yang paling dasar: lemari pakaian, pantries
makanan, manfaat publik tertentu, dan dalam beberapa kasus tempat penampungan
darurat,.
Tanpa alamat, akte kelahiran tidak dapat dikirimkan. Biaya
mungkin biaya terlalu tinggi bagi orang-orang miskin. Dan beberapa negara tidak
akan mengeluarkan akte kelahiran kecuali orang yang memiliki identifikasi foto.
Masalah ini jauh lebih akut di negara-negara yang
menyediakan gratis-di perawatan kesehatan digunakan, seperti Inggris, dimana
rumah sakit akses terbuka siang dan malam, dan membuat tidak ada biaya untuk
perawatan di
AS, perawatan klinik bebas, terutama untuk para tunawisma memang ada di
kota-kota besar, tetapi mereka biasanya terlalu dibebani dengan pasien.
Kondisi yang mempengaruhi tunawisma agak khusus dan telah
membuka daerah baru obat disesuaikan dengan populasi ini. Skin kondisi kulit,
termasuk Kudis , adalah biasa karena orang-orang gelandangan yang terkena
dingin yang ekstrim di musim dingin dan mereka memiliki sedikit akses ke
fasilitas mandi. Mereka memiliki masalah merawat kaki mereka dan memiliki gigi masalah berat lebih dari
populasi umum. Diabetes, terutama yang tidak diobati, tersebar luas dalam
populasi tunawisma. Khusus buku teks kedokteran telah ditulis ke alamat ini
untuk penyedia .
Ada banyak organisasi memberikan pelayanan gratis kepada
para tunawisma di negara-negara yang tidak menawarkan perawatan kesehatan
gratis yang diselenggarakan oleh negara, tetapi jasa tersebut dalam permintaan
besar mengingat jumlah terbatas praktisi medis. Sebagai contoh, mungkin
mengambil bulan untuk mendapatkan pengangkatan gigi minimal di klinik bebas
perawatan.
Penyakit menular yang menjadi perhatian besar, khususnya tuberkulosis , yang lebih mudah menyebar di
tempat penampungan tunawisma yang ramai di perkotaan pengaturan kepadatan
tinggi.
Ada telah menjadi keprihatinan yang sedang berlangsung dan
studi tentang kesehatan dan kesejahteraan penduduk tunawisma tua, biasanya umur
50-64 tahun, dan bahkan lebih tua, untuk apakah mereka secara signifikan lebih
sakit daripada rekan-rekan mereka yang lebih muda dan jika mereka berada di
bawah -disajikan.
Pada bulan Juni 2008, di Boston, Massachusetts, Yawkey Jean
Place, empat-cerita, kaki persegi (7,214.2 m 2) bangunan 77653,
dibuka oleh Boston Kesehatan untuk Program Tunawisma. Ini adalah sebuah bangunan seluruh
layanan penuh di kampus Boston Medical Center yang didedikasikan untuk
menyediakan layanan kesehatan bagi para tunawisma. Hal ini juga berisi
fasilitas perawatan jangka panjang, Barbara McInnis House, yang diperluas ke
104 tempat tidur, yang merupakan terbesar medis tangguh program dan pertama
bagi orang kehilangan tempat tinggal di Amerika Serikat.
K. Masalah
kesehatan dari Homeless
Rata-rata, orang dewasa tunawisma memiliki 8 sampai 9
penyakit medis bersamaan. tunawisma yang biasa
menderita kondisi dermatologi (misalnya, kutu kulit, kudis, eksim, dan ruam
alergi), infeksi saluran pernapasan, kerusakan gigi, masalah kaki (misalnya,
parit kaki, tinea pedis), gangguan penglihatan, infeksi menular seksual (IMS),
dan trauma. keterbatasan fungsional, penyalahgunaan zat, dan penyakit mental
(terutama depresi, skizofrenia, gangguan stres pasca trauma, dan gangguan
kepribadian) yang sangat umum. Penyakit mental dilaporkan dalam 30% dari orang
tunawisma, dan masuk ke 60% dari perempuan tunawisma% 50. yang biasa penyakit
kronis, seperti hipertensi, diabetes, dan asma, cukup lazim dan sulit untuk
mengelola. tes pencegahan yang kurang dimanfaatkan karena waktu dan
keterbatasan dana dan karena pasien cenderung untuk menyajikan dengan kebutuhan
perawatan akut yang membutuhkan perhatian segera. Tunawisma anak sering
menderita pernapasan, telinga, dan infeksi kulit, gagal tumbuh, keterlambatan
perkembangan, dan penelantaran wajah dan pelecehan.
IMS yang umum di antara anak perempuan tunawisma dan wanita,
fungsi akses terbatas pada pelayanan kesehatan reproduksi, pelacuran, dan seks
kelangsungan hidup (yaitu, hubungan intim untuk mendapatkan makanan,
obat-obatan, atau tempat penampungan sementara). Dua puluh enam persen dari pemuda
jalanan perempuan (28% dari pemuda jalanan laki-laki dan 10% dari pemuda
shelter) melaporkan telah berpartisipasi dalam seks kelangsungan hidup, yang
berhubungan dengan usia yang lebih tua, hari lebih jauh dari rumah, korban,
perilaku kriminal, penggunaan narkoba, mencoba bunuh diri, IMS, dan kehamilan.
Homeless wanita memiliki tingkat kehamilan sekitar dua kali angka nasional . ]tingkat HIV lebih tinggi dibandingkan pada
masyarakat umum, yang telah dikaitkan dengan prevalensi yang lebih tinggi
penggunaan narkoba intravena, IMS, prostitusi, seks kelangsungan hidup, dan
akses terbatas pada kondom.
Aspek unik dari
tunawisma yang berkontribusi terhadap sulit mengelola penyakit medis dan
psikiatris termasuk peningkatan kerentanan terhadap kejahatan dan kekerasan;
berdiri lama, paparan luar yang berlebihan; penularan penyakit menular karena
terlalu sesak; risiko tinggi dirampok obat, keterbatasan akses ke air untuk
mandi, perawatan gigi, dan kebersihan pribadi; ketidakmampuan untuk mengikuti
perawatan yang rumit dan perawatan rejimen rumah; kurangnya privasi; sosial.
isolasi dan Mereka dengan hambatan
bahasa - khususnya mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bekerja
berjam-jam di bawah kondisi yang berbahaya , seperti
tunawisma pekerja pertanian musiman dan migran, menghadapi tantangan tertentu
dan sering takut untuk mengakses bahkan perawatan darurat.
L.
Penanggulangan
Homeless/Tunawisma
Permasalahan tunawisma sampai saat ini merupakan masalah yang tidak
habis-habis, karena berkaitan satu sama lain dengan aspek-aspek kehidupan. Namun pemerintah juga tidak
habis-habisnya berupaya untuk menanggulanginya. Dengan berupaya menemukan
motivasi melalui persuasi dan edukasi terhadap tunawisma supaya mereka mengenal
potensi yang ada pada dirinya, sehingga tumbuh keinginan dan berusaha
untuk hidup lebih baik.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah, khususnya
Pemerintah Daerah (Pemda) selama ini cenderung kurang menyentuh stakeholdernya,
atau pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan dalam peraturan. Salah satu contoh
penanganan Mengenai tunawisma yang dilakukan oleh pemda DKI Jakarta pada tahun 2007 yaitu telah
membuat Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum. Perda yang merupakan revisi dari Perda No. 11 Tahun 1988 tentang
Ketertiban Umum ini antara lain berisi larangan penduduk untuk menjadi
pengemis, pengamen, pedagang asongan, pengelap mobil, maupun menjadi orang yang
menyuruh orang lain melakukan aktivitas itu.
Perda ini secara langsung memberikan dampak
besar bagi kaum tunawisma mengingat para Tunawisma belum dikenai mekanisme
mengenai pelangsungan hidup mereka. Mekanisme yang mungkin agak baik adalah
dibangunnya Panti Sosial penampung para tunawisma (gelandangan). Namun sekali
lagi, efektifitasnya dirasa kurang karena Panti Sosial ini sebenarnya belum menyentuh
permasalahan yang sebenarnya dari para tunawisma, yaitu keengganan untuk kembali ke kampung
halaman. Sehingga yang terjadi di dalam praktek pembinaan sosial ini adalah
para tunawisma yang keluar masuk panti sosial Penanganan terhadap kaum Tunawisma pun di atur
dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 Ayat (1) yang
berbunyi, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” sebenarnya
menjamin nasib kaum ini. Namun Undang-Undang belum dapat terlaksanakan di
seluruh lapisan masyarakat, dikarenaka bahwa kebijakan pemerintah selama ini
hanyalah kebijakan yang menyentuh dunia perkotaan secara makroskopis dan bukan
mikroskopis. Pemerintah daerah cenderung menerapkan kebijakan-kebijakan yang
tidak memberikan mekanisme lanjutan kepada para stakeholder sehingga terkesan
demi menjadikan sesuatu lebih baik, mereka mengorbankan
hak-hak individu orang lain
Adapun dalam sebuah penelitian cara
penanggulangan terhadap tunawisma diterapkan dalam beberapa
tahapan, yaitu sebagai berikut:
a. Tahap
persiapan
Karena tunawisma biasanya tidak mempunyai
tempat tinggal, maka suatu hal yang esensial bila mereka ditanggulangi dengan
memotivasi mereka untuk bersama-sama dikumpulkan dalam duatu tempat, seperti
asrama atau panti sosial. Tujuan dalam tahap ini yaitu untuk berusaha memasuki
atau mengenal aktivitas atau kehidupan para Tunawisma.
b. Tahap
Penyesuaian diri
Setelah para tunawisma dikumpulkan , kemudian
mereka harus belajar menyesuaikan diri pada lingkungan yang baru, dimana berlaku
aturan-aturan khusus.
c. Tahapan pendidikan yang
berkelenjutan
Setelah beberapa para tunawisma dalam
lingkungan tersebut diadakan evaluasi mengenai potensi mereka untuk belajar
dengan maksud supaya mendapatkan pendidikan yang lebih layak.
Selain itu, dibawah ini terdapat solusi dalam
menangani Tunawisma yaitu:
·
Tugas pemerintah untuk menangani masalah perkotaan pada umumnya dan
tunawisma pada khususnya adalah menyediakan
lapangan pekerjaan yang lebih banyak di kota-kota kecil.
·
Rencana pembangunan pemerintah seharusnya mengedepankan pembangunan
secara merata sehingga tidak timbul “gunung dan lembah” di negara, pembangunan
hendaknya dilakukan dengan pola “dari desa ke kota” dan bukan sebaliknya.
Sehingga, masing-masing putra daerah akan membangun daerahnya sendiri dan
mensejahterakan hidupnya.
·
Melakukan Pembinaan kepada para Tunawisma dapat dilakukan melalui
panti dan non panti, tetapi pembina harus mengetahui asal usul daerahnya serta
identifikasi penyebab yang mengakibatkan mereka menjadi penyandang
masalah sosial itu.
·
Kalau para Tunawisma disebabkan faktor ekonomi atau pendapatan yang
kurang memadai, mereka bisa diberi bekal berupa pelatihan sesuai potensi yang
ada padanya, di samping bantuan modal usaha.
·
Mengembalikan para tunawisma ke kampung mereka masing-masing.
·
Pemerintah atau masyarakat mengadakan Program Pendidikan non formal
bagi para tunawisma, sehingga dengan cara ini Para Tunawisma
mendapatkan pengetahuan.
Dengan mekanisme yang lebih menyentuh
permasalahan dasar para Tunawisma tersebut diharapkan masalah tunawisma di kota
besar dapat teratasi tanpa menciderai hak-hak individu mereka dan malah dapat
membawa para gelandangan kepada kehidupan yang lebih baik.
Namun, mekanisme di atas merupakan tindakan
jangka panjang dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat terealisasi, untuk
itu diperlukan kerjasama yang baik antar generasi kepemerintahan agar hal
tersebut dapat terwujud dan pada akhirnya kesejahteraan bangsa
dapat lebih mudah dicapai
M.
Kendala dalam penanganan
Tunawisma.
Kendala-kendala yang menyulitkan upaya penanganan
gelandangan adalah:
1. Alokasi dana untuk penanganan
Tunawisma relatif kecil.
2. Upaya penanganan terhadap Tunawisma seringkali
hanya berhenti pada pendekatan punitif-represif.
3. Upaya penanganan sering tidak didukung oleh kebijakan
Pemerintah Daerah.
4. Kurangnya partisipasi dan perhatian
dari pemerintah.
5. belum teratasinya kemiskinan
Serta
adanya program pendamping
berasal dari pemerintah dan dari masyarakat. Pendamping dari pemerintah adalah:
Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), Penyuluh Lapangan Koperasi,
Penyuluh Lapangan Kesehatan, Penyuluh sosial (Pekerja sosial), Penyuluh
Lapangan pertanian, Penyuluh Lapangan Peternakan. Sedangkan dari petugas
pendamping dari unsur masyarakat terdiri dari: Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga
(RW), Kepala Dusun, Bidan Desa, Guru, LSM.
Pendamping dimaksud adalah orang
yang dikenal masyarakat dan sering memberikan bimbingan dan penyuluhan
berkaitan dengan masing-masing bidangnya. Dari aspek pengetahuan, pendamping
dari KB, Pertanian dan peternakan dinilai dalam kategori baik. Mereka dapat
menjelaskan secara baik tentang manfaat, tujuan dan cara-cara yang harus
diikuti dalam suatu program yang ditawarkan. Pendamping program dari Petugas
sosial, RT, RW, Kepala Dusun dalam kategori sedang, alasannya program
yang ditawarkan belum dipahami secara maksimal.
Kriteria pendamping program yang
mereka kehendaki adalah:
·
Mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan
program.
·
Memahami permasalahan-permasalahan yang dialami oleh
penerima bantuan.
·
Mengetahui jenis bantuan yang sesuai dengan kebutuhan.
·
Tidak merangkap pekerjaan.
·
Warga kelurahan setempat.
·
Usia dewasa muda (minimal 18 tahun).
Sikap dan
perilaku pendamping yang diharapkan antara lain:
·
Bersikap sabar tetapi peka terhadap situasi dan kondisi.
·
Kreatif
·
Mau mendengar dan tidak mendominasi
·
Menghargai dan terbuka
·
Bersikap akrab dan melebur
·
Tidak menggurui
·
Berwibawa
·
Tidak memihak, menilai dan mengkritik
·
Bersikap positif
·
Mau belajar dari pengalaman
Kriteria
lembaga yang diharapkan untuk menjadi pendamping program antara lain:
·
Memiliki kantor/sekretariat yang jelas
·
Memiliki sumber dana yang jelas dan memadai
·
Memiliki sumberdaya manusia yang memadai
·
Transparan dalam pertanggungjawaban
·
Mudah dan cepat dalam memberikan pelayanan (tidak berbelit-belit)
·
Bermitra dengan organisasi sosial setempat
·
Hindarkan menggunakan organisasi sosial keagamaan, karena
bisa membuat kecemburuan agama yang lain.
Bentuk bantuan yang diharapkan
responden bagi responden yang berada di desa/kelurahan pesisir adalah modal
usaha yang berupa alat-alat produksi, seperti perahu, mesin pengukur
kelapa, jaring penangkap ikan, sedangkan di tipe desa dan kota lebih
menginginkan usaha ternak seperti domba, sapi, ayam dan lain sebagainya, tetapi
yang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Sementara responden yang berada di
kota lebih menghendaki bantuan modal dalam bentuk uang. Namun responden
menyarankan agar sebelum menerima bantuan usaha ekonomi produktif diberikan
ketrampilan praktis agar dapat mengelola dan mengembangkan bantuan dengan
baik.
Langganan:
Komentar (Atom)


